Jakarta, Gatra.com- Seiring kemajuan prasarana jalan Trans Kalimantan yang sudah dapat menghubungkan semua ibukota kabupaten di Kalimantan, beberapa mobilitas orang dan barang beralih menggunakan transportasi darat. Jalan ini dinilai lebih efisien dari sisi waktu tempuh, aksesibilitas, dan harga.
Namun kondisi berbeda terjadi dengan transportasi penyeberangan sungai. Secara kemajuan, angkutan sungai meredup!!!.
Akan tetapi, fakta di lapangan ada sisi lain yang muncul. Kini marak bermunculan angkutan penyeberangan yang menghubungkan dua wilayah pemukiman tepian sungai yang terputus.
Di Kalimantan terdapat ratusan angkutan penyeberangan sungai di sepanjang sungai besar, seperti Sungai Kapuas, Sungai Kahayan, serta Sungai Martapura dan Sungai Barito. Sayangnya data pasti belum diperoleh.
Salah satu angkutan penyeberangan di Sungai Kahayan, Provinsi Kalimatan Tengah berada di Desa Sepang Kota dan Desa Sepang Simin.
Angkutan penyeberangan ini dikelola perorangan dan sangat membantu warga sekitar beraktivitas. Apalagi setelah beroperasi perusahaan tambang emas di wilayah Desa Sepang Simin.
Awal operasinya tahun 2001. Sebelumnya diseberangkan dengan perahu biasa dan speedboat saja. Di Kabupaten Gunung Mas terdapat 16 angkutan penyeberangan sungai.
Berjalan waktu dan kebutuhan dioperasikan kapal rakit bermotor untuk pejalan kaki dan sepeda motor serta kapal LCT (Landing Craft Tank) untuk kendaraan roda empat atau lebih.
Perahu rakit bermotor merupakan gabungan dua perahu yang dihubungkan papan diberi mesin penggerak. Papan yang lebar untuk tempat orang dan sepeda motor.
Ada empat kapal yang beroperasi. Saling bergantian menyeberangkatkan. Kapal tersebut tidak berkeselamatan. Sama halnya dengan dermaga yang digunajan kurang memperhatikan aspek keselamatan.
Dermaga tidak bisa diatur sesuai turun naik air permukaan sungai. Di kapal tidak tersedia informasi menghadapi kondisi darurat. Tidak tersedia "life jacket". Hingga kurang memperhatikan kebutuhan disabilitas, lansia dan anak-anak.
Walau sebenarnya jika menyeberang hanya butuh waktu 5 menit. Aspek ini penting karena lebar Sungai Kahayan kurang dari 500 meter. Kapal juga tidak ada perawatan rutin. Bisa jadi tidak memiliki surat laik jalan.
Bisnis penyeberangan ini cukup besar meraup pendapatan. Pejalan kaki dan ASN digratiskan. Untuk kendaraan roda dua dalam sehari memberi pemasukan kisaran Rp 1 juta - Rp 1,2 juta. Sedangkan roda empat bisa antara Rp 5 juta hingga Rp 7 juta per hari.
Memang sejak mulai beroperasi tahun 2001 hingga sekarang belum pernah terjadi kecelakaan. Semoga tidak selamanya.
Hanya saja, melihat kondisi prasarana dan sarana maupun dalam hal keselamatan bagi penumpang masih cukup memprihatinkan.
Belum lagi tidak ada instrumen mengukur berat muatan untuk angkutan barang. Seringkali muatan melebihi kapasitas dan dimensi kendaraan.
Mestinya, Pemda segera menertibkan dan memberikan bimbingan teknis serta perbaikan sarana dan prasarana angkutab penyeberangan sungai seperti ini.
Kementerian Perhubungan juga dapat membantu peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia Aparatur Sipil Negara Dinas Perhubungan, awak kapal dan Bimbingan Teknis Keselamatan ke daerah.
Sebenarnya sudah ada PM 25 Tahun 2016, tentang Keselamatan Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan. Namun masih perlu sosialisasi lagi ke daerah.
Selain itu, kecelakaan angkutan sungai punmasih cukup tinggi di Kalimantan. Perlu bimbingan dan arahan lagi dari Kemenhub untuk mengurangi kecelakaan angkutan sungai.
Penulis : Djoko Setijowarno (Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata)
Baca lanjutan nya buka link di samping https://www.gatra.com/rubrik/opini/357498-Angkutan-Penyeberangan-Sungai-di-Kalimantan-Tengah-Tidak-Berkeselamatan
No comments:
Post a Comment